Review Arti Film dari Kaantha. Kaantha, film Tamil garapan Selvamani Selvaraj yang rilis 14 November 2025, langsung jadi sorotan akhir tahun dengan premis unik: drama produksi film era 1950-an yang berubah jadi thriller misteri. Dibintangi Dulquer Salmaan sebagai bintang Mahadevan, Samuthirakani sebagai sutradara legendaris Ayya, Bhagyashri Borse sebagai aktris pemula Kumari, dan Rana Daggubati sebagai inspektur Phoenix, cerita ini terinspirasi rivalitas kreatif di industri sinema Tamil klasik. Durasi 163 menit terasa panjang tapi padat, dengan rating IMDb 8.5 dan Rotten Tomatoes 50% yang tunjukkan opini terbelah: pujian buat performa dan produksi, kritik buat pacing lambat. Bukan sekadar biopic fiksi ala M.K. Thyagaraja Bhagavathar, Kaantha gali makna ego, ambisi, dan batas antara seni dengan realita. Di 2025 yang penuh remake, review film ini ingatkan: sinema bukan cuma hiburan, tapi cermin jiwa yang bisa retak kapan saja. Apa arti sebenarnya di balik layar “film dalam film” ini? Mari kita kupas.
Sinopsis dan Latar Cerita Film Kaantha
Cerita Kaantha berlatar Madras 1950-an, saat studio besar masih kuasai industri dan bintang punya aura dewa. Ayya (Samuthirakani), sutradara veteran yang karirnya mulai pudar, rekrut Mahadevan (Dulquer Salmaan), aktor muda yang ia mentori dari nol jadi “Nata Chakravarthy”—bintang yang egois tapi karismatik. Mereka kolab produksi film berjudul Shaantha, yang Mahadevan ubah jadi Kaantha untuk cocok image-nya. Masuk Kumari (Bhagyashri Borse), aktris debutan yang jadi pusat konflik: romansa terlarang dengan Mahadevan picu ketegangan, sampe insiden tragis ubah semuanya jadi whodunit.
Selvamani Selvaraj syuting di set rekonstruksi Madras tua, lengkap kostum sutra, kamera vintage, dan dialog teatrikal ala era itu—bikin nuansa autentik tanpa terasa museum. Narasi awal fokus drama produksi: perdebatan kreatif, syuting malam, dan aura bintang yang bikin tamu desa iri. Twist tengah bawa elemen thriller: investigasi led by Phoenix (Rana Daggubati), campur flashback dengan interogasi. Ini bukan misteri cepat; pacing lambat bangun ketegangan, mirip Mank bertemu Agatha Christie, dengan mirror sequence ikonik yang jadi klimaks emosional. Hasilnya, film ini bukan cuma cerita, tapi tribute ke sinema Tamil yang lahir dari konflik manusiawi.
Makna Utama Film Kaantha: Ego, Ambisi, dan Batas Seni vs Realita
Inti Kaantha ada di pertarungan ego: Mahadevan wakilin ambisi muda yang haus spotlight, Ayya simbol veteran yang tak rela digeser, dan Kumari jadi korban tak berdaya di tengahnya. “Kaantha” sendiri artinya “leher” atau “pembunuh” dalam konteks mitos, simbol bagaimana ambisi bisa “memenggal” hubungan—dari mentor-murid jadi musuh, romansa jadi tragedi. Maknanya? Sinema bukan vakum; ia cermin realita, di mana rivalitas kreatif campur hasrat dan pengkhianatan, ingatkan bahwa bintang jatuh bukan karena nasib, tapi pilihan egois. Twist thrillernya tekankan: misteri bukan siapa pelaku, tapi kenapa—semua karakter abu-abu, tanpa villain murni, sindir industri di mana seniman saling hancurkan demi “legacy”.
Lebih dalam, film ini kritik patriarki 1950-an: wanita seperti Kumari cuma pion, tapi perannya ubah dinamika pria—Mahadevan lembut, Ayya protektif. Di 2025, saat #MeToo masih bergaung di Bollywood-Tollywood, Kaantha pesan: ambisi bagus, tapi tanpa empati, seni jadi racun. Ayya bilang, “Film kita buat orang nangis, tapi jangan bikin orang mati”—garis yang ngena, ingatkan batas antara fiksi dan fakta. Inspirasi dari kasus pembunuhan C.N. Lakshmikanthan 1940-an tambah lapisan: sejarah sinema Tamil penuh darah, dan Kaantha ajak renung: apa warisan kita kalau dibangun di atas puing orang lain?
Review: Kelebihan, Kekurangan, dan Performa Aktor
Kaantha punya kekuatan di produksi dan performa, tapi lemah di eksekusi thriller—seperti ide brilian yang kehabisan napas di paruh kedua. Kelebihannya: world-building epik ala 1950-an, dari set studio berdebu sampe pesta elite, bikin immersive tanpa CGI berlebih. Sinematografi Dani Sanchez-Lopez tangkap cahaya Madras tua seperti lukisan, sementara score Jakes Bejoy campur orkestra klasik dengan misteri modern tambah intensitas. Durasi panjang terasa worth it buat drama, dengan scene mirror dan konfrontasi Ayya-Mahadevan jadi highlight yang bikin merinding. Penonton Reddit sebut “finest whodunit South cinema”, rating 7.5/10 rata-rata—cocok buat fans period drama seperti Mahanati atau Mank, dengan elemen teatrikal yang charming.
Tapi kekurangannya jelas: pacing lambat di half kedua, twist predictable, dan transisi drama ke thriller terasa dipaksain—seperti whodunit yang lupa “why” lebih penting dari “who”. Dialog teatrikal kadang kaku buat penonton modern, dan subplot romansa Kumari kurang dieksplor, bikin emosi tak ngena penuh. Times of India beri 4/5: “Commitment beats cleverness”, tapi India Today 2.5/5: “Soars then stumbles”. Hindu puji “flashes of brilliance” tapi kritik kurang daring. Performa? Dulquer Salmaan curi show: layered dari narsis ke rapuh, salah satu terbaiknya sejak Sita Ramam—ekspresi “blank” pas krisis bikin nyesek. Samuthirakani solid sebagai Ayya yang kompleks, Bhagyashri Borse charming debutan, dan Rana Daggubati tambah fun di half kedua meski karakternya debatable. Overall, 7/10: ambitious tapi uneven—watchable buat acting dan vibe retro, tapi nggak masterpiece.
Kesimpulan
Kaantha bukan film sempurna, tapi upaya tulus gali makna ego dan ambisi di balik kilau sinema—di mana rivalitas kreatif bisa lahir legenda, tapi juga tragedi. Dengan Dulquer yang brilian dan world-building kaya, film ini tribute era Tamil klasik yang ingatkan: seni abadi kalau dibangun dengan hati, bukan cuma spotlight. Di 2025, saat industri penuh remake, Kaantha ajak kita tanya: apa warisan lo? Layak ditonton buat fans drama period, meski sabar hadapi pacing-nya. Streaming di Netflix mulai 12 Desember—mungkin, lo temukan “kaantha” di cerita sendiri.